Kisah yang Tercecer

Sudah berkali-kali kata kujumput
Bukankah hidupmu terus berlanjut
Ada sepetak langkah yang bergegas baru saja,
meninggalkan lampu-lampu yang menyala
Ada malam di pojok korneamu yang basah.
Seperti menyorotkan butiran kisah-kisah.
Ini, ini, ada kisah yang tercecer.
Dan ini, inilah waktu yang terus melumer.

111023

Jalanan Sesepi ini

Aku kemari lagi ketika kau sudah tak di sini.
Malioboro tetap ramai
Mangkubumi banyak pejalan kaki
Monjali makin berjamur warung mie
Jalan-jalan yang konon penuh cerita
Cerita tentang sampah, katamu tentu saja.
Atau tentang cinta tinja gajah mada.

Memang seperti inilah keadaannya.
Aku datang lagi tanpamu.
Klakson menyalak bersungut-sungut
Manusia silver mondar mandir
Lagu di sayidan susah payah menyihir
Tapi tak pernah kulihat jalanan sesepi ini.

Jombor stanplaat, 8052023

Api yang Membeku

Tiba-tiba merindukannmu
dan menangis.
Selamat ulang tahun.

Kemudian

Kemudian hidup pun terus berlanjut.

Jeparasche nachten, 16/10/2021

Yang Tersisa Hanya Dingin

Burung dara beterbangan di pagi hari
Menebas embun, menerobos dinding-dinding udara
Menerobos kabut di musim dingin yang luruh dengan kisah-kisah yang tidak pernah kau ceritakan sebelumnya.

Kairo, 20 Januari 2018.

Meranggas

Musim kemarau tahun ini sangat panjang
Pegadaian dan bank perkreditan diserbu orang
Jalanan penuh debu dan kenangan tentang musim jambu.
Pohon mangga meranggas menangisi daun yang jatuh satu-satu.

Hanya tersisa kelopak mata kayu jati
Dan sedikit kegelapan pada bunga randu.
Belimbing di tempatmu masih berbuah, katamu.
Ada mata air di belakang rumahmu.
Di bawah pohon sirsak, dekat pohon pepaya.
Tempat di situ kamu biasa mencuci ingatan-ingatan tentang kebun belakang yang sesekali timbul tenggelam dalam masa tuamu yang sudah menjelang.
Katamu sewaktu kecil kamu juga suka main ayunan di bawah pohon mangga hingga tertidur pulas di siang hari yang panas.
Kini kamu pun ingin menceritakan pada siapa saja yang bersedia mendengar kisah-kisahmu yang berulang itu tapi sampai kini tak kau temui telinga orang yang dimaksud.

Yang Bergegas

Yang Bergegas

Di antara riuh rendah kesibukanmu dari hari ke hari, sudahkah kau persiapkan penguburanmu?

Sebab jika jasadmu telah membeku, kau tidak lagi bisa meminta akan dikubur di mana.

Kau tidak bisa meminta kain kafan merk apa untuk membungkusmu.
Kau tidak bisa minta dibelikan peti mati dari kayu jatu atau mahoni.
Kau tidak bisa meminta istrimu akan memperlakukanmu seperti saat pertama kali bertemu.

Jika jasadmu telah diletakkan di keranda, kau tak akan tahu siapa yang akan menangisi kepergianmu saat itu.
Jika kau di dalam liang lahat, ketika tubuhmu ditimbun dengan tanah, dibisiki kalimat tauhid, dan semua pengantar sudah meninggalkanmu di sana, kau tidak tahu cara mereka mengelola harta bendamu.

Ketika tubuhmu sudah membusuk dan dimakan belatung di tanah yang dingin dan sunyi, apakah kau tahu mereka masih mengingatmu dengan sedih atau benar-benar melupakannya?

Winternachten, 23022020

Kota Matahari

Pagi itu seekor anjing masih mengais-ngais sisa pesta tadi malam di jalan Umar bin Khattab, Heliopolis, Kota Nasr. Sesekali ia menerobos dingin.
Ada sunyi dalam gaduh, katamu.
Ada gaduh di persimpangan jalan Maadi yang seketika menjadi sunyi, kataku.
Di halte bus 76 yang akan mengantarmu ke tempat yang jauh di Sinai sana, kamu pun berhenti. Menatapku. Sebentar, aku masih menelusuri gang sempit di Saha yang kumuh, menyeberang ke pasar Jordin yang tidak kalah ruwet, tapi kamu masih bertanya kapan kau kirim surat cinta untukku. Tentu aku akan mengirimkannya setelah kau tahu betapa aspal jalanan depan sembahyangan al-Azhar sangat dingin dan aku tak mau kata-kata yang sudah mengembun di suratku membeku tanpa sempat kau membacanya.

Kairo, 5 Januari 2020
Untuk kartika

Terkantuk-kantuk di Merkurius dalam nanar menunggu fajar

Kemudian larut
Dan aku pun terpaut
Pada aspal dan rumput

Tapi begitulah kisah ini harus berawal
Ketika ku tangkap kelebat yang gagal
Dan membiarkanku melanjutkan kisah-kisah tua
Tentang dingin malam sepi
Tentang kristal harapan mimpi
Tentang buih-buih yang menjadi abadi di udara.
Di antara titik koma kisah itu kau akhirnya tahu
Bukankah hanya kesedihan yang terasa sangat panjang?
Tapi bisakah kau sejenak berhenti
Untuk sekadar membagi sepi.
Atau bisakah kau ceritakanlah padaku bagaimana kesedihan itu tercipta?
Apakah dari bulir-bulir keringat para penghuni neraka yang jatuh di mangkukmu saat kau makan siang? Dan begitu tiba-tiba?
Iyakah?
Sama seperti suatu kali kau bangun pagi dan melihat matamu merah?
Seperti senar gitar yang putus bahkan sebelum kau menyentuhnya?
Tapi kau tampaknya cepat-cepat bergegas.
Dan kisah ini tak juga kau ulas.
Katamu, salahkan saja tuhan yang telah turut camput dalam segala kemalangan ini.
Aku, atau mungkin saja kau, bisa saja berdamai dengan apa saja kecuali dengan keadaan ini.

Kelak

Kelak kita juga akan di sana.
Tempat para bidadari mencuci pakaiannya tiap pagi
Dan menyapamu seperti sudah akrab sekali

Kelak kita juga akan di sana
Di tempat kita terbangun di atas awan beratap langit temaram
Ketika udara begitu hangat seperti di bawah ketiak ayam

Kelak kita juga akan di sana
Saat kau tidak kenyang tidak lapar
Dan kau tidak kesepian walau sunyi menampar-nampar

Kelak kita juga akan di sana
Tempat sungai berisi air susu yang terus mengalir
Menari-nari dimainkan angin yang berdesir

Kelak kita juga akan di sana
Menikmati buah-buahan segar bergelantungan di sisi-sisinya
Sambil mendengar alunan musik yang tidak keras tidak pelan
dan setiap buah yang kau sentuh akan seketika menguning dan matang harum.

Kelak kita juga aakan di sana
Suatu tempat tanpa kau merasa jenuh karena menunggu apa atau siapa atau bertanya sudah berapa lama.
Dan jam tidak perlu berputar karena tidak ada siang atau malam
Hari-hari tidak pernah begitu gelap atau terang karena matahari sudah padam.

Kelak kita juga akan di sana
Tempat kau merasa bisa berkata,
“Ini memang tempatku sejak awal mula.”

Aku memang tidak mungkin menceritakan kepadamu semuanya sekarang.
Sebab kelak kita juga akan di sana
Di mana kau merasa sangat hidup
tapi tak kau dapati satu desah napas pun
di urat leher kita.

Jepara, 17/04/19