Suatu Malam Tanpa Bintang

Suatu Malam Tanpa Bintang

Ada yang diam-diam memperhatikan usapan tanganmu untuk seseorang pada suatu waktu yang kau sendiri lupa kapan terakhir kali kau melakukannya, sampai-sampai kau menyerah sembari menjawab itu memang pernah kaulakukan, tapi dulu sekali.

Ada yang diam-diam menyalin ulang buku harianmu, persis di setiap kau meletakkan titik koma, bahkan di saat kau sedang menulis berlambat-lambat diiringi dengan auman kesedihanmu yang begitu dashyat.

Ada yang diam-diam terus bertiup di sisimu, yang sering disebut aneh-aneh dalam perkamen tua yang kehilangan makna, tetapi kau lebih suka menyebutnya dengan serupa gemantung klaras di tengah perkebunan tandus dan panjang.

Ada yang diam-diam merasakan getirmu dalam hening dan sunyi, yang sampai kini kau tidak pernah memperhatikannya, meski hanya sekejap mata, sampai suatu ketika kau menemukan dalam catatan-catatan buram yang menerakan namamu.

Ada, memang benar-benar ada, yang mencoba untuk terus menguntitmu sampai suatu ketika kau bertanya, bahkan kau sempat mencari tahu, tetapi tetap saja kau hanya menemui angin di sisi rumah kayumu.

Ada yang diam-diam bergelung dalam senyap, menyiapkan perangkat, di atas segala bunyi dan gelap, untuk mengurai tiap sel dagingmu ketika napasmu benar-benar tak bertiup dan jantungmu tiba-tiba berhenti.

Ada yang diam-diam telah mengurangi jatah umurmu.

Samarangsche-Middennachten, 30/7/11

Pagi ini Memang Untukmu

Pagi Ini Memang untukmu

Pagi ini memang untukmu
Lantas untuk siapa lagi
Bukankah setiap hari
pagi itu kuiriskan sepotong
Dan kupersembahkan untukmu.

Wangi tanah basah usai hujan semalam.
Daun mangga berayun-ayun dimainkan burung gereja.
Kanvas biru membentang terbelah cahaya.

Terimalah, jangan sungkan.
Pagi ini untukmu.